Tuesday, April 15, 2014

Mata Itu (Bagian 4)

Cerita sebelumnya disini

Setelah malam yang galau itu, aku berpikir bahwa hubunganku dengannya tidak perlu dilanjutkan lagi. Sepertinya aku memang bukan tipe cowok romantis yang bisa mengerti perasaan wanita. Belum lagi aku dimarahi ayah karena make motor sampe malem, padahal ijinnya cuma sebentar.
Ahhh... sudahlah ... masa depan ku terbentang di depan mata, ujian nasional menanti disana. Aku tidak mau mengecewakan orang tua dengan gagal dalam melewatinya.
Hari minggu berlalu begitu saja, tanpa kegiatan apa pun. Hati ini masih campur aduk, makan gak enak, duduk gak enak, nonton tivi terasa hambar, ahh....Akhirnya ibuku memanggilku.
"Oni..., tanaman yang di sebelah pagar itu mulai kering, kamu siram deh, ntar keburu mati ...", perintah ibuku.
"Ya Bu ...", aku segera bergegas ke gudang mengambil selang dan menyalakan air jet pump untuk menyiram tanaman dekat pagar depan.
Dan memang benar, bougenvil pink dan palem kecil di pojok itu memang sedikit layu dan kurang makan. Dengan bersiul-siul kecil, kusiram tanaman itu dengan kasih sayang.... ala maak.

Ebtanas Tiba


Hari berganti hari, bulan berganti bulan Ujian Ebtanas (saat itu) semakin dekat. Dengan segenap pikiran dan tenaga kukerahkan kemampuanku untuk menghadapinya. Kuminta bantuan seorang temanku yang kuanggap lebih pintar dariku, sebut saja namanya Amrul.
Si Amrul ini, walaupun badannya kecil dan kelihatan kurang bertenaga, tetapi dia anak yang cerdas. Nilai pelajaran yang susah-susah dia selalu diatasku, Matematika, Fisika, Kimia dan Biologi dia selalu diatas. Aku juga heran, kenapa anak-anak yang kecil dan ceking disekolahku cenderung memiliki otak yang lebih encer daripada anak yang bongsor dan badannya gede. Apakah anak yang kerempeng itu rajin tirakat ya? Begitu kata hatiku, dan itu memang kemudian terjawab, karena mereka memang rajin puasa senin-kamis. Aku sih gak terlalu ambil pusing masalah tirakat mereka, karena memang pengetahuan agamaku masih kurang kali.

Akhirnya, hari-hari yang ditunggu pun tiba, EBTANAS.
EBTANAS saat itu artinya adalah Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional. Cukup jelas bukan? Kalau masih bingung, tanya saja sama kakekmu .... he he he
Yang paling berkesan dari Ebtanas ini adalah saat ujian mata pelajaran matematika. Kebetulan yang menjaga adalah orang luar sekolah. Dan kebetulannya lagi, yang menjaga adalah calon dari bulikku (tante) yang paling muda, atau kata orang jawa namanya ragil. Walaupun akhirnya tidak jadi menikah sama bulik.
Saat aku sudah menyelesaikan soal matematikaku, kuberi kode dia untuk keluar ruangan. Eh, benar juga, pak guru itu keluar dari ruangan ujian cukup lama, mungkin sekitar setengah jam. Kesempatan itu kugunakan sebaik-baiknya untuk menolong teman-teman dengan menyebarkan lembar jawaban keliling ruangan. Ada yang terima, ada juga yang tidak percaya akan jawabanku. Ya sudah, yang penting aku niat amal, just it!
Alhamdulillah, setelah keluar nilaiku cuma sembilan (merendah nih ye!), yang mencontek jawabanku rata-rata dapat delapan, tapi ada juga yang dapet nilai 9,25, ah dia untung satu soal aja.
Tapi tidak apa-apa, aku cukup puas dengan nilai NEM saat itu, lima puluh empat koma lima puluh. Yaa... gak jelek-jelek amat deh!
Yang penting tidak ada nilai lima disitu, PMP dapet sembilan koma enam tujuh, disyukuri aja deh.
Akhirnya berbekal nilai yang cukup bagus, aku sangat pede menghadapi ujian masuk perguruan tinggi negeri.
Saking pedenya dengan nilai NEM yang bagus itu, aku jadi lengah dan kurang persiapan. Singkat cerita, aku gagal UMPTN maupun ujian masuk BPLK saat itu. Jadilah, orang tuaku marah-marah dan memberikan ultimatum, kalau masuk perguruan tinggi swasta, lebih baik tidak kuliah.
Karena obsesiku adalah gelar sarjana, maka kutolak beberapa tawaran untuk mendaftarkan diri ke Diploma tiga, walaupun itu perguruan tinggi negeri.
Akhirnya, kunikmati satu tahun masa penantian itu dirumah, dengan segala kegiatan untuk menghabiskan waktu saja.
Singkat cerita, tahun 1993 aku berhasil diterima di FMIPA Universitas Brawijaya Malang. Aku mengambil Program Studi Matematika. Mengapa aku pilih Matematika, yang kata orang bilang pelajaran susah dan sebagainya. Tetapi, aku memang suka sama pelajaran ini karena tidak bertele-tele seperti orang sastra, yang harus berbicara ngalor-ngidul dulu untuk menyampaikan pesannya.
Satu tambah satu sama dengan dua, titik. Itulah mungkin sebagian kecil dari filosofiku yang tidak mau repot terhadap apa pun yang terjadi dalam hidup ini. Termasuk dalam menghadapi makhluk yang namanya perempuan. Aku gak terlalu ngoyo kalau seorang cewek menolak dekat denganku.
"Ah... jaim aja kali ... secara fisik aku gak jelek-jelek amat kok!", begitu kataku dalam hati.


(bersambung)

No comments: