Tuesday, September 16, 2008

Mata Itu ... (Bagian 1)


Di sebuah pasar

Seperti biasa, sore hari sepulang kerja, aku selalu melewati pasar itu. Pasar yang selalu membuat kemacetan di pagi hari dan sore hari dimana orang-orang pada pergi dan pulang dari pekerjaannya masing-masing. Jam lima kurang beberapa menit, aku selalu melaluinya ketika bulan ramadhan tiba. Saat itu memang banyak orang lalu-lalang di depan pasar yang juga di pinggir jalan di daerah yang cukup padat itu. Tak seperti biasanya aku yang fokus kepada motorku untuk mencari celah diantara kendaraan roda empat untuk dapat menyalipnya dan biar lebih cepat sampai di rumah. Tiba-tiba mataku tertuju kepada sosok hitam, bak gagak hitam di tengah hingar bingar jalanan kota Jakarta yang hiruk pikuk. Ya, sosok wanita bercadar hitam, dengan tubuh yang diselimuti dengan kain hitam pekat. Tampak peluh di sekitar kelopak matanya. Aku tertegun sejenak ...
Mata itu ... ya ... mata itu sepertinya aku pernah melihatnya. Seprtinya aku pernah mengenalnya, bukan hanya mengenal. Bahkan aku sering memandang mata itu dengan hati penuh debaran dan degupan. Apalagi ada sedikit rambutnya yang kelihatan, dan rambut itu, lurus, hitam dan mengkilat. Dan kulit yang berada di balik cadar itu juga adalah kulit yang dulu pernah dan selalu kulihat di alam sadarku. Dahulu, ketika aku masih jahiliyah, tidak tahu dan awam tentang agama dan hukum-hukum agama. Aku yang dahulu tidak kenal sholat, mengaji bahkan aku masih suka merokok, main band dan kesana-kemari dengan geng-ku.
Dahulu, mata itu begitu dalam menusuk ke dalam relung hatiku. Mata yang begitu lekat di hatiku ... mata itu sangat ku kenal. Tapi, satu pertanyaan yang ada di hatiku, "Apakah itu mungkin si dia?" Dia yang dulu pernah singgah di hatiku, dia yang dulu pernah sangat berarti bagiku. Dia yang dahulu selalu menghias mimpi-mimpiku? Ah, tidak mungkin. Tidak mungkin dia. Hatiku menyangkalnya, hatiku menolaknya. Dia yang kulihat itu masih sangat muda, tidak ada kerut di dahi dan kelopak matanya. Sedangkan dia yang kukenal itu, sekarang umurnya sudah tiga puluh lima tahun, sudah beranak satu. Entah, berapa anaknya sekarang. Entah, berada dimana dia sekarang. Aku masih sering memimpikannya, padahal aku sudah tidak mengharapkannya datang, walau dalam mimpi sekalipun.
Ya Allah, berdosakah aku, salahkah aku apabila mengingat masa-masa itu. Salahkah aku bila membayangkan, bahwa mata itu adalah dirinya yang dulu pernah singgah dalam masa-masa laluku. Ya Allah, kalau memang itu doa, tolong pertemukan kami lagi. Ada sesuatu yang harus kutebus pada masa laluku itu, ada sesuatu yang masih aku berhutang padanya. Ada satu asa yang dulu tak pernah bisa terwujud, karena jurang kami yang mungkin terlalu lebar buatnya. Jurang materi yang sebenarnya bukanlah prinsip.
Ya Allah, satu sisi dari kehidupanku merindukannya. Satu sisi dari masa laluku mengharapkannya, masih ada sesuatu dalam hatiku yang tertinggal bersamanya. Ya Allah ampunkan hambamu ini.

Malam yang gelisah

Jam setengah enam sore, motorku sudah sampai di halaman rumah. Ketiga anakku sudah berada dihalaman, entah dari mulai kapan. Kelihatannya mereka baru main-main tanah, kulihat si Sulung tangannya berlepotan tanah, sedang membersihkan sesuatu, setelah kutahu ternyata sesuatu itu adalah kulit kerang kering yang di temukannya entah di jalan atau di lapangan sebelah. Kemudian ku standard-kan motorku di sebelah pohon rambutan yang tumbuh persis di rumah kontrakan kami yang sederhana. Ku ucapkan do'a masuk rumah, kemudian salam. Bagi yang belum hapal, begini kurang lebih bunyinya,

"Allaahumma inni as-aluka khairal-muulaji wa khairal mukhroji bismillahi walajnaa wa bismillahi kharajnaa wa-alallaahi tawak-kalnaa."

Artinya : "Yaa Allah, aku minta kepada-Mu baiknya rumah yang kumasuki dan rumah yang kutinggalkan. Dengan nama Allah kami masuk rumah, dengan nama Allah aku keluar rumah, serta kepada-Nya aku berserah diri.

Kudengar di dapur, istriku sedang menyiapkan sesuatu buat kami berbuka puasa nanti. Tampak dia sibuk di depan kompor minyak tanah yang sudah usang dan karatan. Setelah tahu kalau aku telang pulang, dia langsung datang menyambutku dengan senyuman. Walaupun kutahu, saat itu dia sudah keletihan setelah seharian mengerjakan tetek bengek pekerjaan rumah yang melelahkan. Kemudian, dia menyuruh anak-anak untuk segera pulang dan mandi, karena sebentar lagi sudah masuk waktu maghrib untuk daerah Jadetabek dan sekitarnya. Tak seperti hari biasa, yang di sambut ciuman, karena kami masih berpuasa, maka berciuman dengan istri sendiri pun dilarang.

Sepulang dari terawih, aku langsung merebahkan tubuhku di spring bed, walaupun busanya sudah mulai menipis, lumayan juga tubuh ini bisa di rebahkan, setelah sekian waktu, tubuh ini melakukan aktifitasnya di siang hari, apalagi aku ikutan tarawih yang 20 raka'at tanpa witir. Niatnya ntar pas tahajud, witir sebagai penutupnya.

Tapi, Ya Allah, aku masih teringat peristiwa tadi sore di depan pasar di pinggir jalan itu. Pikiranku melayang kemana-mana, seandainya itu dia, seandainya mata indah itu memang miliknya. Siapa yang tahu, kalau mata itu memang bukan miliknya, tapi milik orang lain yang mirip, sangat mirip dengannya. Malam itu kututup mataku dengan perasaan yang agak gelisah, trus kemudian aku berdo'a agar Allah menghilangkan was-was dan segera memberikan mataku kantuk, biar nanti sahur bangunnya gampang.

Tak lama kemudian, istriku sudah berbaring di sebelahku, memelukku erat. Aku tak berani menceritakan apa yang terjadi tadi sore. Takut itu akan menyinggung dan menyakiti perasaannya, aku sangat menyayanginya. Tapi, mata itu, yang telah menghidupkan masa laluku kembali, hanya dalam bentuk yang berbeda, bentuk yang memang selama ini aku harapkan. Kuharapkan agar si dia memiliki kepribadian sebagai seorang muslimah sejati, yang menjaga auratnya dengan sempurna, mendidik anak-anaknya secara Islam. Alangkah bahagianya aku seandainya itu terjadi. Walaupun dia tidak menjadi milikku, artinya, beban yang selama ini kutanggung sudah terkurangi bahkan bisa hilang sama sekali.

Alangkah bahagianya melihat dia memakai busana seperti itu, menyelubungi seluruh tubuhnya dengan kain, dan juga wajahnya yang cantik ditutup dengan cadar atau purdah. Tentu tidak akan mengurangi kecantikannya, bahkan kecantikannya akan bertambah, kecantikan luar dan dalam. Kecantikan sebagaimana Siti Mariyam, ibunda Nabi Isa AS, atau Fatimah putri Nabi Muhammad SAW. Semoga mimpiku malam ini menyenangkan.

(bersambung ...)

No comments: