Wednesday, December 17, 2008

Mata itu (bagian 2)

Flashback

Waktu berlalu demikian cepatnya, rutinitas demi rutinitas telah menghabiskan waktuku tanpa terasa, seminggu lebih telah berlalu peristiwa itu. Ah, mengapa musti mengingat-ingat sesuatu yang belum pasti, toh dia bukan milikku, mungkin dia sudah menjadi milik orang lain, yang mungkin saja lebih baik dariku. Tapi bukan itu masalahnya. Aku tak ingin memilikinya, aku hanya membayangkan kalau mata itu adalah seperti matanya. Mata yang sudah membuatku kehilangan kesadaran akan pentingnya agama dalam hidup ini, mata yang bahkan melalaikanku dari menyembah Tuhanku. Ah, tapi hayalanku melambung jauh ke belakang, saat aku masih sekolah di salah satu sekolah SMA favorit di salah satu kota kecil di Jawa Timur. Ya, waktu tiga tahun menjadi sangat singkat ketika sudah berlalu demikian jauh, itu sudah lima belas tahun yang lalu, atau bahkan sudah delapan belas tahun yang lalu, atau bahkan dua puluh tahun yang lalu.
Ya, dua puluh tahun yang lalu, saat itulah aku bertemu dengannya. Bulan July tahun 1989. Saat itu pendaftaran ulang siswa baru kelas I 5 (satu lima). Kira-kira ada lima puluhan siswa dalam satu kelas. Saat itu hari pertama pembagian kelas. Aku mengambil bangku nomor tiga dari depan yang paling kanan, kebetulan di belakangku ada saudara jauhku si Indarpini. Cantik sekali dia. Tampak gigi-giginya putih terawat, kulitnya putih bersih, dan bajunya .... berbeda dari teman kelasku yang lain. Maklum, dialah anak salah satu pengusaha kaya di kotaku, tepatnya pengusaha transportasi yang terkenal di kotaku. Ketika melihatku dia menyapa.
"Eh, kamu di sini juga toh?"
"Iya", jawabku.
"Eh, gimana kabar ibumu? baik-baik saja kah?"
"Baik ..., salam juga ya buat ibu kamu"
"Yap, ntar kusampaikan deh!", jawabnya sopan.
Setelah bertemu sapa dengannya, tiba-tiba pandanganku tertuju pada bagian lain di ruangan itu. Sosok gadis dengan senyum simpul dengan gigi gingsul yang menurutku sangat manis. Rambutnya lurus, saat itu dia sangat mirip dengan artis, ya .... dia sangat mirip dengan Ida Iasha. Apalagi rambutnya, kulitnya dan .... ah ....
Mulai saat itu, kami sering curi-curi pandang, bahkan tak jarang kami saling menatap mata. Aduh, jantung ini berdegup kencang rasanya... Entah apa itu, yang jelas saat itu aku selalu memikirkannya.
Hari berlalu, kegiatan belajar mengajar di kelas menjadi semakin asyik karena kehadirannya. Bahkan, hanya memandangnya dan saling bertatap mata sudah membuatku menemukan semangat sendiri dalam belajar.
Hari menjadi tak berarti tanpanya. Senyumnya, tatap matanya, gerak geriknya, gerak langkahnya, suara tawanya, suaranya, semuanya sudah terekam dalam benakku, terbenam dalam memoriku. Ah, apakah ini yang namanya cinta? Aku tak tahu, yang jelas, malam minggu yang ke sekian kalinya aku beranikan diri mendatangi rumahnya yang berjarak kira-kira dua kilometer dari rumahku. Ah gak apa apa, walaupun aku pake sepeda ontel, aku tak perduli, ah ternyata masih ada sepeda motor tua warisan dari ibu, ya motor dinas yang sudah dilelang itu menjadi temanku sehari-hari ke sekolah, walaupun pada akhirnya sepeda motor itu harus di relakan untuk di jual demi menutup kerugian bisnis bapakku.
Ya, malam itu aku pake suzuki FR tahun 80-an ke rumahnya. Dengan sangat pede aku mendatangi rumahnya. Di sepanjang jalan aku bersiul-siul dan bernyanyi. Hatiku sungguh berbunga-bunga, kupacu motorku makin kencang, walaupun maksimal hanya 60km/jam. Aku tak peduli, aku ingin segera bertemu dengannya, aku ingin segera bertemu dengan senyum manisnya. Rm rm rm rmmmmmmmmm .....
Akhirnya, sampai juga di rumahnya, di komplek perumnas singosaren blok A nomor 22. Motor ku parkir tak jauh dari pagar rumahnya yang di tumbuhi tanaman perdu dan sejenisnya. Kulihat pintu rumahnya terbuka tapi tidak kulihat orang di dalamnya.
Tok tok tok ..... Kuketuk daun pintu yang terbuka itu sambil ku ucapkan salam
"Assalamu'alaikum ...", belum ada jawaban.
"Assalamu'alaikum ..."
"Wa'alaukum salam ...", ku dengar jawaban lirih dari dalam. Rupanya ibunya yang menjawab dari dalam. Ibu itu masih berbalut mukena putih, rupanya beliau habis sholat. Sedangkan aku, ah iya ya, aku tadi belum sholat, padahal tadi sudah kudengar adzan Isya', ah masa bodo, nanti dulu sholatnya, Isya' kan sampai tengah malam, kataku dalam hati.
Tak lama kemudian, datanglah yang kutunggu-tunggu dari tadi, sudah lima belas menit aku menunggunya. Ehmmm, aku menata posisi dan cara bicaraku, supaya tidak kelihatan gugup di depannya. Begitu dia sudah muncul di depan kamarnya, langsung ku ucap salam, "Assalamu'alaikum ..."
"Wa'alaikum salam ..."
"Bagaimana kabarmu?", kataku membuka pembicaraan.
"Baik." Jawabnya datar.
"Ehmmm, kamu ada acara tidak malam ini?"
"Ehmmm, ada acara apa ya? Apa kita berdua saja?" Tanyanya penuh selidik.
"Ya..., aku ingin kita ngobrol yang enak dengan suasana yang santai, gitu ..."
"Apa di sini tidak cukup santai? Apa di sini banyak orang?"
"Ehm, bukan begitu ..." Kataku sambil mencari-cari alasan yang tepat untuk mengajaknya pergi ke restoran untuk makan malam.
"Aku ingin ngajak kamu makan malam ..." Kataku lagi.
"Wah, maaf kalau begitu ..., kebetulan ... aku sudah makan malam habis maghrib tadi."
"Wah, sial aku ..." Jawabku dalam hati.
"Oke, kalau begitu, kita ngobrol-ngobrol di luar saja, di deket pagar rumah kamu itu, biar bisa menikmati udara malam yang sejuk." Jawabku kemudian, dan dia menganggukkan kepala tanda setuju.

(bersambung ...)

Tuesday, September 16, 2008

Mata Itu ... (Bagian 1)


Di sebuah pasar

Seperti biasa, sore hari sepulang kerja, aku selalu melewati pasar itu. Pasar yang selalu membuat kemacetan di pagi hari dan sore hari dimana orang-orang pada pergi dan pulang dari pekerjaannya masing-masing. Jam lima kurang beberapa menit, aku selalu melaluinya ketika bulan ramadhan tiba. Saat itu memang banyak orang lalu-lalang di depan pasar yang juga di pinggir jalan di daerah yang cukup padat itu. Tak seperti biasanya aku yang fokus kepada motorku untuk mencari celah diantara kendaraan roda empat untuk dapat menyalipnya dan biar lebih cepat sampai di rumah. Tiba-tiba mataku tertuju kepada sosok hitam, bak gagak hitam di tengah hingar bingar jalanan kota Jakarta yang hiruk pikuk. Ya, sosok wanita bercadar hitam, dengan tubuh yang diselimuti dengan kain hitam pekat. Tampak peluh di sekitar kelopak matanya. Aku tertegun sejenak ...
Mata itu ... ya ... mata itu sepertinya aku pernah melihatnya. Seprtinya aku pernah mengenalnya, bukan hanya mengenal. Bahkan aku sering memandang mata itu dengan hati penuh debaran dan degupan. Apalagi ada sedikit rambutnya yang kelihatan, dan rambut itu, lurus, hitam dan mengkilat. Dan kulit yang berada di balik cadar itu juga adalah kulit yang dulu pernah dan selalu kulihat di alam sadarku. Dahulu, ketika aku masih jahiliyah, tidak tahu dan awam tentang agama dan hukum-hukum agama. Aku yang dahulu tidak kenal sholat, mengaji bahkan aku masih suka merokok, main band dan kesana-kemari dengan geng-ku.
Dahulu, mata itu begitu dalam menusuk ke dalam relung hatiku. Mata yang begitu lekat di hatiku ... mata itu sangat ku kenal. Tapi, satu pertanyaan yang ada di hatiku, "Apakah itu mungkin si dia?" Dia yang dulu pernah singgah di hatiku, dia yang dulu pernah sangat berarti bagiku. Dia yang dahulu selalu menghias mimpi-mimpiku? Ah, tidak mungkin. Tidak mungkin dia. Hatiku menyangkalnya, hatiku menolaknya. Dia yang kulihat itu masih sangat muda, tidak ada kerut di dahi dan kelopak matanya. Sedangkan dia yang kukenal itu, sekarang umurnya sudah tiga puluh lima tahun, sudah beranak satu. Entah, berapa anaknya sekarang. Entah, berada dimana dia sekarang. Aku masih sering memimpikannya, padahal aku sudah tidak mengharapkannya datang, walau dalam mimpi sekalipun.
Ya Allah, berdosakah aku, salahkah aku apabila mengingat masa-masa itu. Salahkah aku bila membayangkan, bahwa mata itu adalah dirinya yang dulu pernah singgah dalam masa-masa laluku. Ya Allah, kalau memang itu doa, tolong pertemukan kami lagi. Ada sesuatu yang harus kutebus pada masa laluku itu, ada sesuatu yang masih aku berhutang padanya. Ada satu asa yang dulu tak pernah bisa terwujud, karena jurang kami yang mungkin terlalu lebar buatnya. Jurang materi yang sebenarnya bukanlah prinsip.
Ya Allah, satu sisi dari kehidupanku merindukannya. Satu sisi dari masa laluku mengharapkannya, masih ada sesuatu dalam hatiku yang tertinggal bersamanya. Ya Allah ampunkan hambamu ini.

Malam yang gelisah

Jam setengah enam sore, motorku sudah sampai di halaman rumah. Ketiga anakku sudah berada dihalaman, entah dari mulai kapan. Kelihatannya mereka baru main-main tanah, kulihat si Sulung tangannya berlepotan tanah, sedang membersihkan sesuatu, setelah kutahu ternyata sesuatu itu adalah kulit kerang kering yang di temukannya entah di jalan atau di lapangan sebelah. Kemudian ku standard-kan motorku di sebelah pohon rambutan yang tumbuh persis di rumah kontrakan kami yang sederhana. Ku ucapkan do'a masuk rumah, kemudian salam. Bagi yang belum hapal, begini kurang lebih bunyinya,

"Allaahumma inni as-aluka khairal-muulaji wa khairal mukhroji bismillahi walajnaa wa bismillahi kharajnaa wa-alallaahi tawak-kalnaa."

Artinya : "Yaa Allah, aku minta kepada-Mu baiknya rumah yang kumasuki dan rumah yang kutinggalkan. Dengan nama Allah kami masuk rumah, dengan nama Allah aku keluar rumah, serta kepada-Nya aku berserah diri.

Kudengar di dapur, istriku sedang menyiapkan sesuatu buat kami berbuka puasa nanti. Tampak dia sibuk di depan kompor minyak tanah yang sudah usang dan karatan. Setelah tahu kalau aku telang pulang, dia langsung datang menyambutku dengan senyuman. Walaupun kutahu, saat itu dia sudah keletihan setelah seharian mengerjakan tetek bengek pekerjaan rumah yang melelahkan. Kemudian, dia menyuruh anak-anak untuk segera pulang dan mandi, karena sebentar lagi sudah masuk waktu maghrib untuk daerah Jadetabek dan sekitarnya. Tak seperti hari biasa, yang di sambut ciuman, karena kami masih berpuasa, maka berciuman dengan istri sendiri pun dilarang.

Sepulang dari terawih, aku langsung merebahkan tubuhku di spring bed, walaupun busanya sudah mulai menipis, lumayan juga tubuh ini bisa di rebahkan, setelah sekian waktu, tubuh ini melakukan aktifitasnya di siang hari, apalagi aku ikutan tarawih yang 20 raka'at tanpa witir. Niatnya ntar pas tahajud, witir sebagai penutupnya.

Tapi, Ya Allah, aku masih teringat peristiwa tadi sore di depan pasar di pinggir jalan itu. Pikiranku melayang kemana-mana, seandainya itu dia, seandainya mata indah itu memang miliknya. Siapa yang tahu, kalau mata itu memang bukan miliknya, tapi milik orang lain yang mirip, sangat mirip dengannya. Malam itu kututup mataku dengan perasaan yang agak gelisah, trus kemudian aku berdo'a agar Allah menghilangkan was-was dan segera memberikan mataku kantuk, biar nanti sahur bangunnya gampang.

Tak lama kemudian, istriku sudah berbaring di sebelahku, memelukku erat. Aku tak berani menceritakan apa yang terjadi tadi sore. Takut itu akan menyinggung dan menyakiti perasaannya, aku sangat menyayanginya. Tapi, mata itu, yang telah menghidupkan masa laluku kembali, hanya dalam bentuk yang berbeda, bentuk yang memang selama ini aku harapkan. Kuharapkan agar si dia memiliki kepribadian sebagai seorang muslimah sejati, yang menjaga auratnya dengan sempurna, mendidik anak-anaknya secara Islam. Alangkah bahagianya aku seandainya itu terjadi. Walaupun dia tidak menjadi milikku, artinya, beban yang selama ini kutanggung sudah terkurangi bahkan bisa hilang sama sekali.

Alangkah bahagianya melihat dia memakai busana seperti itu, menyelubungi seluruh tubuhnya dengan kain, dan juga wajahnya yang cantik ditutup dengan cadar atau purdah. Tentu tidak akan mengurangi kecantikannya, bahkan kecantikannya akan bertambah, kecantikan luar dan dalam. Kecantikan sebagaimana Siti Mariyam, ibunda Nabi Isa AS, atau Fatimah putri Nabi Muhammad SAW. Semoga mimpiku malam ini menyenangkan.

(bersambung ...)

Tuesday, June 3, 2008

Pengantar

Assalamu'alaikum,

Pembaca yang budiman, selamat datang di situs kumpulan cerpen-cerpen pembuka hati, cerpen yang diharapkan mampu menggugah hati kita yang selama ini tertidur, yang diharapkan dapat memberi pencerahan, baik bagi pembacanya maupun bagi penulisnya.
Yang jelas, penulis hanya berharap kepada Allah Ta'ala, agar tulisan ini nantinya dapat bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Amin.

Kenapa blog ini saya beri nama cerpen sony, karena memang ini adalah kumpulan cerpen hasil karya saya (Sony Wibisono - penulis) , penulis berharap bahwa kumpulan cerita-cerita ini akan lebih bermakna dan berkesan bagi pembacanya. Dan terlebih lagi, memberi perubahan pada kehidupan pembaca yang sedang belajar atau memperdalam ajaran Islam.

Sebagian besar dari isi tulisan ini adalah berdasarkan pengalaman pribadi penulis dan orang-orang yang berada di dekat penulis, adapun nama-nama dan tokoh-tokoh yang ada bisa jadi penulis samarkan dengan kata sandi atau yang sejenisnya.
Tapi untuk sementara cerpen-cerpen itu belum bisa kami tampilkan, masih dalam bentuk draf. Silakan sabar menunggu untuk beberapa saat.

Selamat menikmati dari manapun Anda berasal. Dan dimanapun Anda berada.

Wassalam
Penulis