Kami asyik ngobrol kesana-kemari, ngalor dan ngidul, entah apa yang kami bicarakan saat itu, yang jelas kuingat adalah tiba-tiba dia menyebut seorang teman deketku perempuan saat aku masih SMP. Ya si Dilla, darimana dia tahu ya? Wah aku agak suuzon nih. Tapi gak apalah, hal itu membuatku kemudian terdiam. Aku tidak mengerti, mengapa dia mengatakan aku masih berhubungan dengan si Dilla. Tahu dari mana, dan informasi dari mana kalau aku masih hubungan dengan si Dilla, padahal itu sama sekali tidak benar. Kami, aku dan Dilla cuma sepasang sahabat, keluarganya sudah seperti keluargaku sendiri. Itu tak lain dan tak bukan adalah aku sudah seperti kakak Dilla sendiri, karena dia tidak punya saudara laki-laki. Kami tidak ada perasaan apa-apa, walaupun pada awalnya memang aku yang mengejar-kejar dia. Tapi setelah kutahu keluarganya yang alim dan santri, aku lebih ingin hubungan normal pertemanan saja, melihat kakek buyutnya adalah seorang kiayi, aku tak tega menodai keturunannya dengan sifat-sifat jelekku andaikan itu ada.
Wah, gawat nih, ternyata si Dia itu anaknya sangat "sensi" banget. Dia ingin hubunganku dengannya itu diam-diam saja dulu, jangan terang-terangan. Dia tak ingin aku berhubungan lagi dengan Dilla.
Sambil kami mengobrol diluar yang isis semilir angin malam, aku lihat ayahnya mondar-mandir seperti setrikaan sedang mengawasi kami berdua. Dia (ayahnya) tidak ingin sesuatu terjadi pada anak kesayangannya. Apalagi mungkin melihatku anak ingusan yang masih bau kencur dan lagi, mungkin agak kere kali. Wah, masa bodoh, dalam hati kecilku.